loading…
Asta Cita Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka diharapkan mengembalikan sistem ekonomi nasional yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Foto: Ist
Hal itu ditegaskan Ekonom Senior Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Hendri Saparini dalam diskusi bertajuk “Kerapuhan Etika Penyelenggara Negara: Kedaulatan Ekonomi yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
“Instrumen untuk mengelola ekonomi agar betul-betul menjamin rakyat sejahtera itu tidak ada. Yang sekarang tidak kita miliki itu adalah sistemnya. Seharusnya kita memiliki sistem ekonomi Indonesia yang mendasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sampai hari ini belum ada sistem tersebut,” ujar Hendri, Jumat (18/10/2024).
Kegagalan dalam membangun sistem ekonomi ini membuat pengelolaan ekonomi Indonesia rentan bergantung pada siapa yang berkuasa, tanpa ada acuan jelas untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Ketidakjelasan arah ekonomi inilah yang membuat pengelolaan ekonomi nasional semakin terpisah dari tujuan utama untuk kesejahteraan seluruh rakyat.
Namun, Asta Cita, visi Presiden terpilih Prabowo Subianto yang berkomitmen pada penguatan ideologi Pancasila menjadi harapan baru untuk membangun sistem ekonomi yang lebih berkeadilan.
Dia optimistis Asta Cita menjadi dasar bagi kebijakan ekonomi yang berpihak pada rakyat. Asta Cita yang mengedepankan ideologi Pancasila diharapkan dapat membawa perubahan yang signifikan. Salah satu poin penting adalah bagaimana kebijakan ini dapat mengembalikan kedaulatan negara dalam mengelola sumber daya untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
“Bagaimana caranya agar Asta Cita betul-betul akan memberikan kesempatan pada seluruh rakyat. Harus ada kedaulatan dari negara untuk mengelola sumber daya yang dimiliki agar terjadi kesejahteraan masyarakat,” katanya.
Peneliti The Institute for Ecosoc Right Sri Palupi mengatakan, saat ini kedaulatan ekonomi Indonesia hanyalah cek kosong bagi rakyat. Palupi menyoroti ketimpangan yang mencolok di mana 10% orang terkaya menguasai 75% kekayaan Indonesia, sementara mayoritas rakyat hanya bisa mengakses ampasnya.
Menurut dia, kebijakan ekonomi yang dijalankan saat ini semakin memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. “Bagaimana pun rakyat berusaha sekeras apa pun, nggak akan sukses,” ucapnya.
Dia mencatat bahwa banyak nyawa hilang akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, mulai dari pekerja migran hingga korban kekerasan aparat dan bencana lingkungan.
Palupi mengaitkan masalah ini dengan revisi UU KPK yang dianggap memperlemah pemberantasan korupsi serta UU Cipta Kerja yang dinilai mempercepat perampasan hak-hak dasar rakyat demi kepentingan korporasi.
Rektor Universitas Widya Mandira Philipus Tule menyoroti pentingnya kemitraan antara pemerintah dan lembaga-lembaga agama dalam pembangunan ekonomi.
Menurut dia, pada masa sebelum kemerdekaan dan awal kemerdekaan ada kerja sama yang erat antara pemerintah dan lembaga keagamaan dalam upaya membangun masyarakat. “Mereka menyelamatkan jiwa, tapi juga membangun ekonomi,” katanya.
(jon)