loading…
Darynaufal Mulyaman, Dosen HI UKI. Foto/Dok. SINDOnews
Alumni Pasca HI UI
Dosen HI UKI
BUDAYA mengacu pada keyakinan, nilai, praktik, dan perilaku bersama kelompok, adalah lensa yang efektif untuk memahami dan mendalami orang lain dengan lebih seksama. Intelijen dan budaya adalah sebuah hubungan yang sebenarnya sudah berlangsung sangat lama.
Lewat membangun hubungan dengan para pemimpin budaya, anggota masyarakat, dan masyarakat lokal, analis intelijen dapat memperoleh akses ke informasi yang sulit diperoleh melalui cara standar. Jaringan ini dapat memberikan informasi tentang sikap, keyakinan, dan kondisi lokal, serta potensi ancaman dan bahaya secara faktual dan konsisten.
Bekerja dengan para pemimpin adat di tempat-tempat yang jauh adalah salah satu tindakan kongkret, seperti yang dilaksanakan oleh Cornelis de Houtman ketika pertama kali mendapat rempah-rempah saat mendarat di Banten pada 1595. Belanda saat itu menjadi paham dan bersemangat untuk mengeksplorasi Nusantara akibat informasi yang diteruskan oleh Houtman.
Budaya dapat menjadi alat penting dalam proses pengumpulan informasi. Memahami dan menggunakan nuansa budaya memungkinkan analis intelijen untuk memperoleh wawasan yang lebih dalam tentang motivasi, perilaku, dan kerentanan individu dan kelompok.
Lebih dalam lagi daripada itu, Matsumoto (1996) menjelaskan bahwa budaya adalah seperangkat sikap, nilai, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh sekelompok orang, tetapi berbeda untuk setiap individu, dikomunikasikan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maka, lewat budaya antargenerasi, dapat terbangun sebuah sistem jaringan budaya yang dapat menjadi sumber informasi yang sangat berguna. Maka, dengan demikian, pendekatan budaya sudah pasti dapat digunakan untuk mendapatkan data intelijen yang kuat.
Menganalisis seni tradisional, sastra, dan musik, misalnya, dapat mengungkapkan informasi tentang nilai-nilai budaya, kepercayaan, dan kejadian sejarah, seperti yang disebutkan oleh Kroeber & Kluckhohn (1952), ‘Budaya terdiri dari pola, eksplisit dan implisit, dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan ditransmisikan oleh simbol’. Oleh karena itu, kebudayaan sudah pasti menjadi sumber data yang signifikan, tetapi apakah selama ini saat proses pengambilannya, sudah memakai teknik atau aset dalam budaya yang cenderung “feminim”?
Dunia intelijen selalu identik dengan maskulinitas, terutama kekuatan atau kejantanan. Pada budaya pop, di film-film seperti James Bond, Mission Impossible, ataupun Kingsman yang ramai dinikmati publik, kita bisa mengenal istilah agen atau mata-mata yang semua dibingkau sebagai sosok yang “macho” dengan keunggulan fisik maupun kecerdasan di atas rata-rata. Pun demikian dengan kemampuan mereka menguasai berbagai peralatan canggih yang superior.
Kendati demikian, tidak semua hal yang terkait dengan intelijen selalu diasosiasikan dengan maskulinitas. Beberapa hal dalam dunia intelijen jauh dari kata maskulinitas, tetapi vital untuk sektor intelijen. Misalnya, nuansa budaya yang memperkaya dunia intelijen serta menjadi faktor determinan yang penting dalam pengumpulan informasi di lapangan.
Joseph Nye (2011), seorang ilmuwan politik terkenal, menekankan pada pentingnya penggunaan kekuatan halus (soft power) atau kemampuan untuk mempengaruhi orang lain melalui ketertarikan daripada paksaan atau koersif yang telah menjadi semakin penting dalam praktik hubungan internasional. Kekuatan halus pun, terutama kemampuan untuk memahami dan mampraktikkan nilai-nilai budaya, menurut penulis, juga menjadi faktor penting dalam keberhasilan operasi intelijen.