loading…
Muhammad Irfanudin Kuniawan – Dosen Universitas Darunnajah. Foto/Dok pribadi
Dosen Universitas Darunnajah
Di era digital ini, AI telah memasuki berbagai aspek kehidupan, dari dunia kerja hingga pendidikan, bahkan mempengaruhi cara kita memahami kebenaran. Kita mengandalkan algoritma untuk mengambil keputusan, menggali informasi, dan tidak sedikit yang menggunakannya untuk menentukan standar moralitas. Namun, apakah kita masih mampu berpikir jernih dalam memahami akidah kita sendiri? Ataukah kita justru terseret dalam arus kecerdasan buatan tanpa memiliki fondasi keyakinan yang kokoh?
Apabila ada seseorang yang baru belajar berenang kemudian langsung menceburkan diri ke laut tanpa pelampung. Ia mungkin bisa mengapung sejenak, tetapi tanpa pemahaman, pelatihan dan pembiasaan yang benar tentang berenang, ombak akan segera menyeretnya ke ke dalam lautan. Begitu pula dengan manusia di era AI: jika kita tidak memiliki pemahaman akidah yang kuat, kita akan mudah terseret oleh arus informasi, hoaks, dan propaganda digital yang menyesatkan.
Inilah mengapa mempelajari akidah bukan sekadar kewajiban, tetapi kebutuhan esensial. Akidah bukan hanya keyakinan dalam hati, melainkan juga sistem berpikir yang membantu kita memilah mana yang benar dan mana yang batil. Akidah seperti garam dalam makanan yang memberikan cita rasa terhadap angka dan data. Jika kita kehilangan kemampuan berpikir jernih dalam berakidah, maka kita berisiko menggantikan iman dengan algoritma, menggantikan kepercayaan dengan probabilitas, dan menggantikan hakikat dengan ilusi digital.
Patrick King, dalam bukunya The Art of Clear Thinking, menjelaskan bagaimana mental models membantu kita mengambil keputusan yang lebih baik. Prinsip-prinsip dalam buku ini memiliki relevansi yang mendalam terhadap bagaimana kita memahami dan mengokohkan akidah di era AI.
Pertama, menguji Asumsi dan Bias. AI bekerja berdasarkan data, tetapi data tidak selalu netral. Algoritma bisa membawa bias, begitu pula cara berpikir kita tentang agama. Sering kali, kita menerima informasi agama dari media sosial tanpa memverifikasinya. Padahal, dalam Islam, kita diajarkan untuk Tabayyun (memverifikasi informasi) sebelum mempercayainya. Tanpa akidah yang kokoh, kita bisa terjebak dalam narasi yang salah, baik itu ekstremisme beragama maupun sekularisme radikal.
Kedua, melihat dari Berbagai Perspektif. Seorang mukmin sejati tidak hanya menerima ajaran agama secara pasif, tetapi juga berusaha memahami hikmah di baliknya. Mental model ini mengajarkan kita untuk melihat Islam sebagai sistem yang menyeluruh (syumul), bukan hanya dari satu sudut pandang. Jika kita membatasi pemahaman agama hanya berdasarkan opini influencer di media sosial, kita bisa kehilangan esensi Islam yang sebenarnya.
Ketiga, menghindari Kekeliruan Logika dalam Beragama. Banyak orang menganggap bahwa akidah cukup diwarisi, bukan dipelajari. Mereka menerima Islam sebagai tradisi, bukan sebagai kebenaran mutlak yang harus dipahami dan diyakini dengan akal sehat. Kesalahan berpikir ini serupa dengan apa yang disebut Patrick King sebagai logical fallacies—kesesatan berpikir yang bisa membuat kita menerima sesuatu tanpa dasar yang kuat.
Keempat, berani Menghadapi Ketidakpastian. AI menawarkan prediksi dan kepastian berbasis data. Namun, hidup tidak selalu bisa dihitung dengan algoritma. Ada banyak hal dalam kehidupan yang memerlukan Al-Iman bil Ghaib—percaya pada yang tidak terlihat tetapi diyakini kebenarannya. Berakidah di era AI berarti tetap memiliki keyakinan bahwa ada aspek kehidupan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan logika dan data.
Kelima, kesadaran Diri dalam Berpikir. Dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu melakukan Muhasabah (introspeksi diri). Mental model ini mengajarkan bahwa berpikir jernih tidak hanya soal menghindari kesalahan logika, tetapi juga mengenali bagaimana emosi dan kebiasaan kita mempengaruhi pemikiran. Orang yang terbiasa mengandalkan AI dalam mengambil keputusan tanpa refleksi diri akan kehilangan kepekaan spiritualnya.