loading…
Ketua Forum Kebijakan Digitalisasi Transportasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muhammad Lutfi Bakrie. Foto/Ist
Padahal ITS sejatinya bukan sekadar teknologi. Namun merupakan sistem saraf layanan transportasi massal modern.
Baca juga: Perbedaan BRT dan Non-BRT yang Harus Diketahui Penumpang Transjakarta
“ITS memungkinkan pengelolaan armada secara real-time, pemantauan waktu tiba bus secara akurat, perhitungan beban subsidi berbasis data, hingga pemetaan kebutuhan rute secara dinamis. Jika dirancang dan dioperasikan dengan tepat, ITS akan menjadi tulang punggung layanan Bus Rapid Transit (BRT) yang hemat subsidi, bukan membebani fiskal,” kata Ketua Forum Kebijakan Digitalisasi Transportasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Muhammad Lutfi Bakrie dalam keterangannya, Senin (9/6/2025).
Persoalannya bukan pada alat yang digunakan, lanjut dia, tetapi pada absennya kerangka kebijakan, standar teknis, dan tata kelola yang membuat teknologi ini terhubung dengan misi pelayanan publik.
Dalam sistem BRT, ITS tidak berjalan sebagai sistem tunggal. Ia terdiri dari pusat kendali (BOCC), sistem manajemen armada (FMS), tiket elektronik (AFCS), kamera pengawas, informasi penumpang, dan sistem pemantau lalu lintas. S
emua komponen ini harus dikaitkan langsung dengan tujuan layanan, yakni menurunkan waktu tunggu, meningkatkan ketepatan jadwal, dan mengurangi pemborosan BBM serta subsidi.
Baca juga: Rute Lengkap Transjakarta dan Non-BRT Menuju Wisata Ragunan, Ancol, Monas
“Sayangnya, di banyak kota ITS dibangun setelah layanan berjalan. Akibatnya, data tidak terkumpul, operasi tidak termonitor, dan efisiensi tidak tercapai. ITS justru menjadi beban, bukan solusi. Ini bukan karena teknologinya gagal, tapi karena desain kebijakannya absen,” lanjutnya.