loading…
Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Foto: Dok Sindonews
Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran
HUKUM diperlukan manusia bermasyarakat guna mengatur agar dapat tercipta keteraturan dan ketertiban dalam kehidupan masyarakat serta jika diperlukan juga hukum pidana dan sanksinya merupakan sarana yang bersifat ultimum remedium, hanya digunakan jika sarana sanksi administratif dan sanksi perdata tidak efektif lagi-sarana terakhir saja.
Hukum pidana dan yang dikenal saat ini sejak lama diajarkan oleh para ahli hukum asing (Belanda), memlliki fungsi bermata dua; di satu sisi mengiris daging kita sendiri dan di sisi lain melindungi masyarakat; benarkah?
Di dalam praktik penyidikan, hukum pidana ditempatkan sebagai primum remedium tidak bersifat ultimum remedium; dan hampir semua doktrin hukum pidana yang mengandung perikemanusiaan di kesampingkan tanpa tedeng aling-aling oleh penyidik; begitu pula asas praduga tak bersalah, asas persamaan perlakuan di muka hukum( equality before the law) in dubio pro reo dan larangan memberikan keterangan yang akan merugikan kepentingan dirinya di persidangan( non-self incrimination).
Sarana sanksi hukum pidana dalam praktik peradilan pidana telah terbukti, tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas, senyatanya, hanya dihunjamkan terhadap seseorang yang tidak memiliki kedudukan sosial-ekonomi tinggi dan mereka yang tuna hukum sekalipun hak didampingi seorang penasehat hukum jelas tercantum di dalam KUHAP.
Bahkan dalam praktik politik di Tanah Air sarana sanksi hukum pidana, penahanan dan penetapan tersangka telah dijadikan cara untuk menghadapi kaum oposisi. Kasus terakhir yang mengemuka adalah, kasus Tom Lembong, kasus Airlangga Hartarto, kasus SYL, dan kasus Firli Bahuri menunjukkan bahwa sarana hukum pidana tajam ke atas karena pertimbangan politik praktis dengan membangun opini publik tentang kisah buruk yang bersangkutan.