loading…
Praktisi Hukum Muhammad Arif Sulaiman menyoroti independensi kekuasaan kehakiman dalam menegakkan hukum terkait abolisi Tom Lembong dan amnesti Hasto Kristiyanto. Foto: Dok Sindonews
“Kita harus bertanya apakah hakim sekarang tidak lagi bisa menilai suatu perkara dengan objektif? Sehingga harus selalu menunggu campur tangan presiden melalui abolisi atau amnesti?” ujar Arif di Jakarta, Rabu (6/8/2025).
Baca juga: Jokowi Baru Akui Perintah Impor Gula usai Tom Lembong Dapat Abolisi, Feri Amsari: Andai Hakim Adil
Hakim semestinya menjadi benteng terakhir pencari keadilan. Dalam perkara pidana, tugas utama hakim adalah menemukan kebenaran formil berdasarkan bukti yang terungkap di persidangan, bukan terpengaruh oleh tekanan politik atau opini publik.
Dia membandingkan kasus Tom dan Hasto dengan perkara Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua. Saat itu, publik menyaksikan bagaimana keberanian hakim memberikan putusan meski terdakwa mengakui menghilangkan nyawa orang lain.
“Kalau di kasus Bharada E, hakim berani mengambil keputusan yang bahkan mendapat simpati publik. Tapi kenapa di kasus yang menyangkut tokoh-tokoh elite justru harus diluruskan lewat keputusan presiden?” kritik Arif.
Dia juga menyoroti lemahnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Jika terus-menerus intervensi politik diperlukan untuk membetulkan proses hukum, maka hakim kehilangan marwah dan pijakan dalam memutus perkara.