loading…
Eko Ernada. Foto/Istimewa
Kolumnis dan Dosen HI FISIP Universitas Jember
USULAN kenaikan pajak daerah belakangan ini memicu gelombang protes keras dari masyarakat. Bukan sekadar soal angka, kenaikan ini menantang kesabaran publik dan menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pajak dirancang untuk membangun negara, atau justru menjadi alat tekanan yang menguji kesetiaan rakyat terhadap penguasa? Pajak berhenti menjadi instrumen fiskal biasa dan berubah menjadi ujian demokrasi yang menuntut akuntabilitas nyata dari pemerintah.
Di berbagai kota di Indonesia, usulan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menimbulkan reaksi warga yang keras, hingga memunculkan tuntutan pemakzulan kepala daerah. Kronologi ini menyoroti konflik antara kebutuhan fiskal pemerintah dan aspirasi publik, memperlihatkan bagaimana pajak modern menjadi simbol hubungan antara negara dan warga.
Pemerintah daerah biasanya menaikkan pajak untuk memperkuat kapasitas fiskal, membiayai pembangunan infrastruktur, dan memenuhi kebutuhan administrasi yang semakin kompleks. Namun, jika kenaikan ini dilakukan tanpa komunikasi transparan, tanpa menjelaskan proporsi manfaat bagi masyarakat, atau tanpa melibatkan partisipasi warga, legitimasi pemerintah dapat tergerus dan protes sosial menjadi tidak terhindarkan.
Baca Juga: Ditentang Warga, Bupati Pati Akhirnya Batal Naikkan PBB 250%