loading…
Ridwan al-Makassary, Dosen di Fakultas Ilmu Sosial UIII/Direktur Center of Muslim Politics and World Society UIII. Foto/Dok. SindoNews
Dosen di Fakultas Ilmu Sosial Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)
Direktur Center of Muslim Politics and World Society UIII
DEMONSTRASI Agustus 2025 telah menempatkan Indonesia dalam satu labirin krisis dan rentan terbakar. Protes massa yang awalnya berlangsung damai (dan brutal karena penyusup) dengan membakar fasilitas umum dan menjarah rumah anggota dewan, di sebagian wilayah Indonesia telah menandai salah satu momen paling signifikan dari protes massa di era paska-Reformasi.
Bermula dari kemarahan publik atas tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang berlebihan dengan cepat bersalin rupa menjadi protes sosial dalam skala luas yang menggugat keadilan ekonomi, integritas politik, dan peran polisi dan militer di tanah air. Singkatnya, protes massa ini bukan hanya tentang uang; melainkan juga tentang kepercayaan, martabat, dan janji demokrasi yang dilanggar oleh pemerintah dan parlemen.
Di jantung kerusuhan terdapat kontradiksi yang mencolok: anggota parlemen asyik menghadiahi diri mereka sendiri dengan tunjangan perumahan senilai hampir sepuluh kali upah minimum. Sementara rakyat biasa mesti berjuang mengais rejeki untuk bertahan hidup dengan langkah-langkah penghematan, kenaikan biaya hidup, dan menyusutnya layanan publik.
Ketidakseimbangan ini mencerminkan masalah kekerasan struktural yang lebih dalam—budaya politik elit yang semakin terlepas dari realitas sehari-hari warga negara. Keputusan semacam itu menyakitkan dan memicu persepsi bahwa pemerintahan hanya melayani segelintir orang yang memiliki hak Istimewa, dan kroni-kroninya daripada menyejahterakan masyarakat yang lebih luas.
Kemarahan semakin menyala dengan kematian tragis Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online, yang meregang nyawa karena dilindas oleh kendaraan barakuda polisi selama protes berlangsung. Kisahnya, yang digemakan oleh media sosial, telah menjadi simbol perlawanan bagaimana kekuasaan negara dapat menghancurkan warga Masyarakat biasa yang rentan.
Alih-alih meredakan ketegangan, tanggapan polisi yang keras memperkuat keyakinan bahwa hak-hak demokratis bersyarat, hanya ditoleransi ketika mereka tidak menantang otoritas kekuasaan. Di negara yang masih mengingat trauma otoritarianisme selama Orde Baru, ini adalah pengingat yang menyakitkan akan cita-cita reformasi yang belum selesai dalam penegakan hukum dan hubungan sipil-militer.
Namun, protes juga merefleksikan vitalitas dan daya tahan masyarakat sipil Indonesia. Barisan buruh, mahasiswa, dan warga dari berbagai latar belakang bersatu padu untuk menuntut akuntabilitas, keadilan ekonomi, dan transparansi dari pemerintah dan DPR. Energi perlawanan ini menggarisbawahi kebenaran penting: demokrasi Indonesia, meskipun tidak sempurna, tetap tangguh ketika orang memperjuangkan hak-hak mereka yang terampas atas nama demokrasi.
Ke depan, pemerintah harus menahan godaan untuk menghardik perbedaan pendapat. Sebaliknya, ia harus memperlakukan krisis ini sebagai kesempatan untuk membangun kembali legitimasi yang patah.