Politik

Mewaspadai Pembunuh Budaya di Jemari Kita

×

Mewaspadai Pembunuh Budaya di Jemari Kita

Sebarkan artikel ini



loading…

Ressa Uli Patrissia
Mahasiswi Program Doktor Komunikasi Pascasarjana Sahid

KINI semakin terbukti bahwa teknologi bukan sekadar alat. Kendati tampak seperti benda mati, sesungguhnya ia “hidup”. Begitulah keyakinan Gilbert Simondon (1924-1989), filsuf yang terkenal karena kontribusinya dalam filsafat teknologi dan teori individuasi. Ia berargumen bahwa proses menjadi individu sebagai sesuatu yang dinamis dan berkelanjutan. Individuasi tidak hanya berlaku untuk manusia, tetapi juga objek teknis dan alamiah.

baca juga: Berapa Jumlah Judul Buku Baru yang Terbit di Indonesia Setiap Tahun? Ini Datanya

Gilbert Simondon lahir di Saint-Etienne, Prancis. Ia menempuh pendidikan di Ecole Normale Superieure di Paris, di bawah bimbingan filsuf-filsuf terkenal seperti Georges Canguilhem dan Maurice Merleau-Ponty. Setelah menyelesaikan studinya di ENS, ia melanjutkan karir akademisnya dengan memperoleh agregation dalam bidang filsafat. Semasa hidupnya, Simondon tidak terlalu dikenal. Pengaruh pemikirannya meningkat secara signifikan setelah kematiannya. Ide-ide Simondon mewarnai berbagai bidang, termasuk teori media, sosiologi, dan studi teknologi. Gilles Deleuze dan Bernard Stiegler dua di antara tokoh terkenal yang terinspirasi karya Simondon.

Ada dua karya utama yang sangat penting: “L’Individuation a la lumiere des notions de forme et d’information” (Individuasi dalam Terang Konsep Bentuk dan Informasi) dan “Du mode d’existence des objets techniques” (Mode Eksistensi Objek Teknik). Dalam karya-karya ini, Simondon mengeksplorasi bagaimana individu dan teknologi berkembang serta berinteraksi dalam konteks sosial dan material mereka.

Simondon juga dihargai karena pendekatannya yang interdisipliner, menggabungkan filsafat dengan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memberikan wawasan yang lebih komprehensif tentang proses individuasi dan perkembangan teknis. Ia juga menyelidiki cara objek teknis berkembang dan berfungsi dalam masyarakat. Ia menentang pandangan reduksionis yang melihat teknologi hanya sebagai alat atau eksistensi manusia. Sebaliknya, ia menekankan bahwa teknologi memiliki mode eksistensi sendiri yang harus dipahami dalam konteks evolusi dan jaringan relasionalnya.

baca juga: Haedar Nashir Luncurkan Buku Jalan Baru Moderasi Beragama

Pemikiran Simondon yang seperti ini terlintas kembali di benak saya ketika membaca buku berjudul Technotronic Ethnocide: Teknologi Komunikasi dalam Jagat Budaya yang baru saja diterbitkan Profesor Ahmad Sihabudin. Tidak sekadar hidup dan berinteraksi dengan manusia. Bahkan, menurutnya, teknologi juga bisa menjadi pembunuh. Saya kira, inilah insight paling penting yang hendak disampaikan pakar komunikasi budaya serta Guru Besar bidang komunikasi lintas budaya Universitas Sultan Ageng Tirtayasa itu.

Sebagaimana senjata yang bisa berdaya guna, pada jari-jemari yang keliru mungkin saja letusan inovasi manusia itu menjelma menjadi malapetaka. Tak berhenti dalam memantik kritisisme, penulis tentu berharap kita tersadar lalu waspada dan melakukan perubahan.Pembunuhan budaya melalui teknologi elektronik itu memang digambarkan sedemikian nyata. Kekhawatiran perihal punahnya keragaman beserta kekayaan dan keunikan budaya, serta local wisdom terancam musnah, itu dinukil dari kesedihan antropolog Amerika, Edmund Carpenter, yang menyaksikan dampak negatif kamera, tape recorder, proyektor terhadap tercerabutnya masyarakat secara brutal dari budaya mereka.

Dalam hitungan bulan, suatu masyarakat di Papua yang ditinggali produk teknologi komunikasi ternyata tak ia kenali lagi. Rumah, pakaian, sikap dan perilaku mereka berubah. “Teknologi telah mengasingkan dan menghancurkan kebudayaan mereka,” katanya, yang dikutip penulis dari laporan terbitan 1976. Di luar Papua dan terkait generasi kekinian, salah satu daya rusak teknologi elektronik terlihat dari kemunculan “hidup gaya”, fenomena yang mendorong siapapun, walau minim modal, untuk tampil penuh gaya. Penulis menghubungkan gejala menyedihkan ini dalam konteks industri dan kapitalisme.



Source link

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *