loading…
Harryanto Aryodiguno, Ass. Prof. International Relations, President University. Foto/Dok. SindoNews
Ass. Prof. International Relations, President University
PERANG Iran vs Israel kembali menjadi pengingat tajam bahwa konflik geopolitik tidak lagi semata-mata terjadi karena perbedaan ideologi atau klaim wilayah. Kini, konflik lebih banyak dipicu oleh kompetisi atas aset geostrategis yang menjadi fondasi kekuatan ekonomi dan pertahanan suatu negara.
Serangan Israel terhadap instalasi gas alam South Pars milik Iran memperlihatkan bagaimana infrastruktur energi dapat menjadi target militer karena dianggap menopang kekuatan strategis negara lawan. South Pars bukan sekadar ladang gas. Terletak di Selat Hormuz dan berbagi struktur geologis dengan North Dome milik Qatar, kawasan ini menyimpan cadangan gas alam terbesar di dunia.
Dalam dua dekade terakhir, Iran secara bertahap berhasil mengembangkan blok-blok pengelolaan gas ini secara mandiri, meski di bawah tekanan sanksi dan isolasi internasional. Bagi Teheran, ini bukan hanya proyek ekonomi, tapi simbol kemandirian nasional dan perlawanan terhadap ketergantungan pada teknologi Barat.
Serangan Israel ke South Pars hanya menghantam satu dari 30 blok aktif. Namun dari sudut pandang Iran, serangan ini adalah provokasi terhadap kedaulatan energi dan pesan politik yang sangat dalam.
Iran pun merespons dengan meluncurkan ratusan rudal dan drone bersenjata ke berbagai wilayah di Israel, termasuk infrastruktur sipil. Ini adalah eskalasi langsung, namun juga bisa dibaca sebagai pertarungan “pesan” atas siapa yang berhak menentukan tata kuasa kawasan.
Perspektif Teoretis: Mearsheimer, Nye–Keohane, dan Qin Yaqing
Melalui lensa realisme ofensif, Penulis menilai John Mearsheimer pasti akan melihat serangan ini sebagai bagian dari kalkulasi kekuasaan. Negara, dalam sistem internasional yang anarkis, akan selalu berusaha memaksimalkan kapasitasnya untuk bertahan hidup.