loading…
Nazaruddin, Pemerhati masalah sosial, politik dan hukum. Foto/Dok.Pribadi
Pemerhati masalah sosial, politik dan hukum
SEJARAH adalah arena perebutan narasi. Yang tercatat, diajarkan, dan diwariskan bukan selalu cermin peristiwa sebenarnya, melainkan hasil seleksi – kadang seleksi yang tajam, bahkan kejam. Sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tahun 1945 adalah contoh paling jelas bagaimana politik bisa memutuskan suara siapa yang abadi dalam sejarah, dan suara siapa yang dibungkam.
Buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Muhammad Yamin menjadi rujukan utama banyak generasi untuk memahami BPUPKI. Di dalamnya, kita mendapati pidato penuh semangat dari Soekarno, Hatta, Soepomo, dan Yamin sendiri. Namun, kita nyaris tidak menemukan pidato lengkap tokoh-tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, K.H. Wachid Hasyim, atau Abikusno Tjokrosujoso – padahal mereka jelas hadir, berbicara, dan memperjuangkan visi mereka.
Apakah mereka tidak sepenting tokoh nasionalis sekuler? Justru sebaliknya. Dalam beberapa hari sidang, tokoh-tokoh Islam inilah yang menyuarakan gagasan fundamental: negara merdeka harus bersendi pada ajaran agama, khususnya Islam, dengan keyakinan bahwa agama menjadi perekat, bukan pemecah. Namun, suara-suara itu tidak masuk ke dalam kanon sejarah resmi. Alasannya sederhana: politik.
Politik Ingatan
Tahun 1959, ketika Yamin menerbitkan risalahnya, Indonesia berada di awal Demokrasi Terpimpin. Tarik-menarik ideologi antara nasionalis sekuler dan Islam masih panas. Memunculkan kembali pidato penuh argumentasi syariat di hadapan publik berpotensi menghidupkan kembali tuntutan politik Islam – sesuatu yang justru ingin ditekan oleh rezim. Menghilangkannya adalah strategi. Strategi membangun mitos bahwa kemerdekaan lahir dari konsensus bulat tanpa friksi besar.
Padahal, jika kita menilik dari sumber alternatif – arsip Jepang, catatan surat kabar Asia Raya, memoar keluarga – kita akan melihat gambaran yang lebih rumit.
Rekonstruksi Suara yang Hilang
Berikut rekonstruksi dari pidato tokoh-tokoh Islam, yang diambil dari fragmen arsip dan kesaksian: