loading…
Ida Farida, Komisioner KPU Kalimantan Timur 2014–2019, Dosen UINSI, dan Ketua Muslimat NU Samarinda. Foto: Ist
Komisioner KPU Kalimantan Timur 2014–2019, Dosen UINSI, dan Ketua Muslimat NU Samarinda
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang memisahkan pemilu nasional dari pemilu daerah menempatkan demokrasi lokal pada persimpangan jalan yang krusial. Di satu sisi, pemisahan ini diklaim akan menyederhanakan beban teknis pemilu dan meningkatkan kualitas penyelenggaraan. Namun di sisi lain, kebijakan tersebut justru menimbulkan potensi disorientasi politik di tingkat daerah—sebuah risiko yang tidak bisa dianggap remeh dalam ikhtiar memperkuat demokrasi substansial di Indonesia.
Sebagai mantan komisioner KPU di daerah, saya memandang bahwa pemisahan pemilu bukanlah solusi, melainkan langkah mundur yang justru berpotensi memperbesar beban demokrasi elektoral kita. Dalih efisiensi dan penyederhanaan justru akan melahirkan kompleksitas baru dalam bentuk pembengkakan anggaran, fragmentasi partisipasi, dan penguatan kontrol oligarki politik, terutama di tingkat lokal.
Apakah pemisahan ini benar-benar solusi? Untuk memahami kontroversi ini secara utuh, sejarah bisa memberi jawaban. Sejak pemilu pertama tahun 1955, sistem kepemiluan Indonesia mengalami transformasi yang panjang. Pemilu pasca-Orde Baru dibentuk dalam semangat desentralisasi dan demokratisasi. Namun sistem multipartai, desentralisasi yang belum matang, dan pemilu yang berlangsung nyaris setiap tahun pada periode 2005–2015 menciptakan kelelahan politik dan tingginya biaya pemilu.
Atas dasar itu, muncul dorongan untuk menyatukan pemilu nasional dan daerah dalam satu momentum. Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 menjadi tonggak penting yang mendorong pemilu serentak. Tujuannya bukan sekadar menyederhanakan, tetapi memperkuat integrasi sistem presidensial dan mengefisienkan artikulasi kehendak rakyat. Pemilu serentak memudahkan rakyat dalam mengevaluasi dan memilih secara utuh: dari pusat hingga daerah, dari legislatif hingga eksekutif.