loading…
Yusuf Sugiyarto, Ketua Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI 2024-2026. Foto/Dok.Pribadi
Ketua Bidang Penelitian dan Kebijakan Strategis PB HMI 2024-2026
DI TENGAH kemacetan pasar kerja dan anjloknya daya serap industri, pemerintah meluncurkan lebih dari 80.000 Koperasi Merah Putih (KMP) pada 21 Juli 2025 – dengan janji besar: menciptakan 1,6 hingga 2 juta lapangan kerja baru dari desa-desa di seluruh penjuru negeri. Secara konsep,ini langkah yang penuh harapan.
Di atas kertas, koperasi memang bisa jadi penggerak ekonomi lokal yang demokratis, tahan krisis, dan berbasis komunitas. Apalagi di tengah stagnasi ekonomi nasional, pendekatan seperti ini dibutuhkan. Tapi seperti semua program besar di republik ini, yang jadi pembeda bukan idenya melainkan eksekusinya. Indonesia saat ini sedangmendapatkan bonus demografi, namun yang seharusnya menjadi “dividen sejarah” bagi bangsa ini justru menjelma menjadi bom waktu. Antara 2025 hingga 2035, Indonesia akan mengalami lonjakan usia produktif tertinggi dalam sejarah.
Tapi alih-alih memanen produktivitas, kita justru dihadapkan pada fakta suram. Data BPS Februari 2025 menunjukkan ada 7,28 juta pengangguran terbuka, 3,6 juta di antaranya adalah anak muda usia 15–24 tahun. Yang lebih mencemaskan, ada lebih dari satu juta sarjana yang tak terserap pasar kerja, mereka yang mestinya jadi lokomotif pembangunan, justru terjebak dalam antrian panjang lowongan yang tak kunjung datang. Di sinilah kegagalan menyerap bonus demografi mulai terasa nyata, bukan sekadar wacana.
Di luar itu, tiga awan hitam masih membayangi, yakni disrupsi, mismatch, dan deindustrialisasi. Dunia kerja berubah cepat, bahkan terlalu cepat. Otomatisasi dan AI mengancam 43% pekerjaan global (WEF, 2025). Sementara itu, mismatch antara kompetensi lulusan dan kebutuhan industri jadi lubang besar yang belum tertambal.