loading…
Tulus Abadi. Foto/Istimewa
Pengamat
Pegiat Perlindungan Konsumen dan Pengamat Kebijakan Publik, Pengurus Harian YLKI
PRESIDEN Prabowo Subianto saja dilantik oleh MPR RI, sebagai presiden ke-8 bagi bangsa dan rakyat Indonesia. Dalam hitungan jam, yakni 11 jam kemudian, Presiden Prabowo pun langsung tancap gas, dengan mengumumkan anggota kabinetnya, dengan komposisi 7 (tujuh) Menko, 48 menteri, 56 orang wakil menteri, plus 5 (lima) pejabat setingkat menteri. Komposisi personel menteri, wakil menteri, dan pejabat setingkat menteri itu, beberapa hari belakangan sudah mengemuka ke ranah publik.
Salah satu person yang dilantik sebagai menteri adalah Budi Gunadi Sadikin (BGS), sebagai Menteri Kesehatan. Posisi yang sudah diembannya sejak pandemi Covid-19, menggantikan Terawan Agus Putranto. Kendati seorang ekonom (bankir), sepertinya Menkes BGS ini mengerti dan berpihak pada isu kesehatan publik. Terbukti beliau cukup gigih dalam mengawal proses pembahasan dan pengesahan PP Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan. Tetapi bukan berarti hal itu sudah selesai. Menkes BGS dihadapkan pada tantangan penolakan oleh sekelompok masyarakat yang menolak keberadaan PP Nomor 28/2024 tersebut, baik dari kalangan pekerja/buruh, industri makanan/minuman, dan atau petani tembakau.
Setidaknya hal itu yang tercetus pada aksi demonstrasi oleh sekelompok pekerja pada sektor makanan, minuman, dan tembakau, pada Rabu (9/10/2024). Mereka meminta agar PP Nomor 28/2024 dibatalkan, dan pembahasan RPMK dihentikan. Kedua produk regulasi itu diklaim mengancam eksistensi bisnis makanan, minuman dan tembakau; dan endingnya akan menyebabkan PHK massal. Sebuah klaim yang secara faktual tidak pernah terbukti.
Jika merujuk pada sikap kelompok pekerja, buruh, dan petani terhadap PP 109/2012 tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif bagi Kesehatah pada 2011 lalu, klaim mereka tidak terbukti sama sekali. Bahwa PP 109/2012 yang ditakutkan akan membuat produksi dan penjualan tembakau “shut down”, justru malah sebaliknya. Bahkan produksi dan penjualan rokok terus melesat, mencapai 315 miliar batang (2023); dan jumlah perokok juga melompat, mencapai 32 persen dari total populasi. Tragisnya prevalensi merokok pada anak bertengger pada angka 9,1 persen. Artinya, kekhawatiran terhadap PP 28/2024 akan meruntuhkan industri makanan, minuman dan tembakau juga jauh panggang dari api (terlalu didramatisasi).
Sejatinya dari perspektif kesehatan publik keberadaan PP 28/2024 berikut aturan turunannya, justru merupakan bentuk kehadiran negara untuk mewujudkan hak hidup warga negaranya, salah satunya hak asasi untuk hidup sehat. Sehingga menolak kehadiran PP Nomor 28/2024 dan RPMK menjadi yang anomali. Sebab secara faktual, prevalensi penyakit tidak menular prosentasenya makin menjulang, yakni mencapai 73 persen. Dan hal ini terbukti jenis penyakit yang dicover oleh program JKN, didominasi oleh jenis penyakit penyakit katastropik, seperti jantung koroner dan penyakit pembuluh darah, diabetes melitus, kanker dan stroke. Masuk akal jika hasil kajian CISDI (2016), konsumsi tembakau telah menggerus kerugian ekonomi dan finansial sebesar Rp27,6 triliun per tahunnya.
Maka dari itu, pengendalian konsumsi makanan dan minuman yang tinggi gula, garam dan lemak (GGL) dan pengendalian konsumsi tembakau, menjadi sangat urgen. Sebab saat ini di pasaran minuman manis dengan berbagai karakter/jenis seperti teh manis, susu ultra, bahkan jus buah; ternyata kandungan gulannya sangat tinggi, rata rata mencapai 20-35 persen. Jadi isi minuman itu persentasenya lebih tinggi gulanya, daripada susu atau jus buahnya. Juga makanan yang mengandung garam dan lemak. Bentuk pengendalian yang akan diusung adalah pembatasan maksimal kandungan GGL, misalnya penandaan dengan warna khusus, dan juga pengenaan cukai, khususnya untuk produk minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Dukungan publik terhadap wacana pengenaan cukai MBDK, cukup tinggi, yakni 25,8 persen; berdasar survei YLKI 2022 di 10 kota di Indonesia.
Dari sisi perlindungan konsumen, PP 28/2024 adalah instrumen untuk memberikan guidance yang lebih jelas, sebagaimana dijamin oleh UU Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Via penandaan khusus pada label, konsumen akan mendapatkan informasi yang lebih jelas, terkait kandungan suatu makanan/minuman yang tinggi gula, garam dan lemak. Informasi ini sangat penting sebab label pada makanan dan minuman yang ada saat ini kurang jelas (tidak informatif), sehingga konsumen malas membacanya. Kalau pun membacanya juga belum tentu mengerti maksudnya.