loading…
Ramen A Purba, Dosen Politeknik Unggul LP3M, Mahasiswa Doktor Universitas Negeri Padang. Foto/Ist
Dosen STMIK Methodist Binjai, Mahasiswa Doktor Universitas Negeri Padang
SITUASI sosial-politik Indonesia belakangan ini menunjukkan wajah yang dinamis. Demonstrasi yang berlangsung pekan lalu melahirkan tuntutan yang dikenal sebagai Agenda 17+8. Agenda ini terdiri dari 17 tuntutan jangka pendek yang bersifat teknis dan darurat dengan tenggat waktu 5 September 2025, serta 8 tuntutan jangka panjang yang berorientasi pada perubahan struktural.
Kehadiran agenda ini bukan sekadar catatan aspirasi, melainkan sebuah peta jalan perlawanan rakyat terhadap praktik-praktik penyelenggaraan negara yang dianggap abai, diskriminatif, atau bahkan represif.
Namun, pengalaman sejarah Indonesia dan negara lain mengingatkan kita bahwa setiap agenda politik rakyat, betapa pun besarnya, sering kali tereduksi menjadi sekadar janji kosong. Euforia demonstrasi bisa meredup, elite politik bisa kembali pada kalkulasi pragmatis, sementara rakyat kembali menghadapi realitas sehari-hari tanpa perubahan yang berarti. Oleh karena itu, pertanyaan utama yang harus diajukan adalah bagaimana memastikan agar Agenda 17+8 tidak hanya menjadi catatan retoris, melainkan sebuah instrumen nyata bagi transformasi politik, sosial, dan ekonomi?
Dalam konteks inilah, keberlanjutan gerakan rakyat menjadi faktor penentu. Agenda 17+8 harus dipandang bukan hanya sebagai hasil sebuah demonstrasi, melainkan juga sebagai proses panjang yang membutuhkan konsolidasi, pengawalan, dan penguatan kelembagaan. Tanpa keberlanjutan, agenda ini akan mudah dipatahkan oleh arus pragmatisme politik yang sering mendominasi ruang kekuasaan. Sebaliknya, bila terus dijaga melalui mekanisme kontrol publik, partisipasi masyarakat sipil, serta komitmen negara yang nyata, Agenda 17+8 berpeluang menjadi momentum penting bagi lahirnya tatanan politik dan ekonomi yang lebih adil dan demokratis.
Agenda yang Menyimpan Harapan Publik
Tuntutan jangka pendek dalam Agenda 17+8 menyasar hal-hal mendesak: penghentian kriminalisasi aktivis, evaluasi kebijakan harga kebutuhan pokok, penanganan darurat pengangguran, serta jaminan akses kesehatan dan pendidikan. Sementara delapan agenda jangka panjang menyoroti isu-isu struktural seperti reformasi agraria, restrukturisasi sistem politik, penguatan lembaga antikorupsi, serta tata kelola sumber daya alam yang berkelanjutan.
Bila kita cermati, substansi tuntutan ini sejalan dengan problem klasik bangsa Indonesia: ketimpangan ekonomi, lemahnya institusi demokrasi, dan kerentanan sosial. Agenda ini lahir dari akumulasi frustrasi rakyat terhadap janji-janji politik yang selama ini lebih sering menjadi retorika kampanye daripada realisasi kebijakan.
Sebagaimana diingatkan oleh Amartya Sen (1999) dalam karyanya Development as Freedom, pembangunan yang sejati harus memastikan adanya kebebasan substantif bagi rakyat, bukan sekadar pertumbuhan ekonomi, melainkan juga kebebasan politik, akses pendidikan, kesehatan, dan keamanan sosial. Jika ditarik ke konteks Indonesia, Agenda 17+8 sejatinya adalah teriakan rakyat untuk memperoleh kebebasan substantif tersebut.
Dengan demikian, Agenda 17+8 bukan hanya sekumpulan daftar tuntutan, melainkan refleksi atas kebutuhan mendasar rakyat yang selama ini terabaikan oleh kebijakan negara. Ia merepresentasikan aspirasi kolektif untuk menata ulang relasi antara negara dan warga, di mana keadilan sosial dan kesejahteraan bersama menjadi orientasi utama. Jika pemerintah mampu menanggapinya dengan langkah nyata, maka agenda ini berpotensi menjadi tonggak penting dalam memperkuat kontrak sosial serta memperbaiki kualitas demokrasi Indonesia yang belakangan kerap dipertanyakan.
Risiko Menjadi Retorika Politik
Sejarah menunjukkan, banyak agenda politik rakyat akhirnya mandek. Kita bisa menengok kembali gerakan reformasi 1998. Tuntutan rakyat ketika itu terangkum dalam semangat Reformasi Total: pemberantasan KKN, supremasi hukum, dan demokratisasi. Dua dekade kemudian, sebagian memang terwujud, tetapi sebagian lain justru mengalami deviasi. Korupsi tetap marak, oligarki semakin menguat, dan politik uang menjadi praktik biasa.
Hal serupa terjadi di banyak negara lain. Gerald Almond dan Sidney Verba (1989) dalam The Civic Culture menegaskan bahwa transisi demokrasi sering kali terjebak dalam kelemahan institusional. Kekuatan rakyat yang memaksa perubahan belum tentu berbanding lurus dengan keberlanjutan demokrasi. Apabila Agenda 17+8 tidak ditopang mekanisme institusional yang kuat, maka besar kemungkinan ia hanya akan menjadi catatan sejarah tanpa tindak lanjut.