loading…
Candra Fajri Ananda, Wakil Ketua Badan Supervisi Otoritas Jasa Keuangan. Foto/Dok. SINDOnews
Wakil Ketua Badan Supervisi OJK
EKONOMI global saat ini berada dalam fase yang penuh ketidakpastian dan gejolak yang kompleks. Ketegangan geopolitik, kebijakan proteksionis, fluktuasi harga komoditas, serta disrupsi rantai pasok global akibat konflik dan perubahan iklim telah menciptakan tekanan besar terhadap stabilitas ekonomi dunia. Saat ini, berbagai negara menghadapi tantangan ganda, yakni menjaga pertumbuhan ekonomi domestik sekaligus beradaptasi dengan perubahan struktural dalam tatanan ekonomi global.
Penerapan tarif impor tinggi oleh Presiden Donald Trump telah menciptakan ketidakseimbangan dalam sistem perdagangan internasional. Berdasarkan data dari Tax Foundation dan Kiel Institute (2025), kebijakan tersebut menyebabkan penurunan ekspor AS hingga 17%, sementara impor berkurang sekitar 5%. Kebijakan tarif ini nyatanya justru berdampak balik pada daya saing produk Amerika di pasar global. Secara teoritis, hal ini selaras dengan Lerner Symmetry Theoremyang menyatakan bahwa tarif impor akan memberikan efek negatif yang sama terhadap ekspor karena gangguan dalam arus perdagangan dan daya saing harga.
Negara-negara mitra dagang pun turut terkena dampak dari kebijakan tarif Trump. Meski demikian, Tiongkok berhasil mengalihkan jalur ekspor melalui negara ketiga untuk menghindari tarif. Fenomena ini mencerminkan konsep global value chain, di mana pelaku usaha menyesuaikan lokasi produksi dan jalur distribusi untuk menghindari hambatan perdagangan. Artinya, kebijakan tarif unilateral menjadi kurang efektif dalam mengendalikan arus barang di era perdagangan modern yang saling terintegrasi. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pendekatan proteksionis tidak hanya menciptakan ketegangan dagang, tetapi juga mendorong negara-negara lain untuk merespons secara strategis melalui diversifikasi jalur dan mitra perdagangan.
Di tengah ketidakpastian ini, kebijakan Donald Trump lainnya berupa larangan pengembangan Central Bank Digital Currency (CBDC) di Amerika Serikat melalui Executive Order pada Januari 2025 pun menimbulkan implikasi strategis terhadap sistem keuangan internasional. Larangan ini, yang dilandasi alasan menjaga kedaulatan dolar dan menghindari intervensi pemerintah terhadap sistem keuangan, justru berpotensi melemahkan posisi dolar dalam perdagangan global, terutama ketika negara-negara lain seperti Tiongkok dan Uni Eropa mempercepat adopsi CBDC. Absennya dolar digital dinilai dapat meningkatkan biaya transaksi lintas negara dan mengurangi peran dolar sebagai mata uang dominan, sehingga memengaruhi stabilitas kurs dan arus perdagangan internasional.