loading…
Gilang Qomariyah Amarta, S.H., M.H, Koordinator Divisi Hubungan Antarlembaga LBH Gema Keadilan. Foto/istimewa
Koordinator Divisi Hubungan Antarlembaga LBH Gema Keadilan
TIDAK ada yang lebih ironis daripada menyaksikan sebuah negara hukum memperlakukan konstitusinya seolah-olah hanya sebagai “saran moral” semata. Inilah realitas pahit yang sedang kita hadapi pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai larangan rangkap jabatan wakil menteri.
Ketika 30 wakil menteri dalam Kabinet Merah Putih secara terang-terangan merangkap sebagai komisaris di berbagai BUMN, dan respons elite politik terhadap putusan MK sekadar menyebutnya sebagai “pertimbangan hukum belaka”, maka yang tengah terjadi bukan sekadar pelanggaran yuridis, melainkan krisis konstitusionalisme yang menggerus fondasi negara hukum Indonesia.
Ketika MK Diabaikan
Realitas di lapangan menunjukkan bentuk pengabaian terbuka terhadap kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan data terkini, tercatat 30 wakil menteri yang secara bersamaan menjabat sebagai komisaris di BUMN, antara lain Sudaryono (Wakil Menteri Pertanian) sebagai Komisaris Utama PT Pupuk Indonesia, serta Stella Christie (Wakil Menteri Pendidikan Tinggi) yang merangkap sebagai Komisaris PT Pertamina Hulu Energi.
Lebih mengkhawatirkan, sejumlah BUMN strategis bahkan menjadi “lahan kekuasaan” yang dipenuhi oleh para pejabat rangkap jabatan. PT Telkom Indonesia, misalnya, dihuni oleh tiga wakil menteri sekaligus: Angga Raka Prabowo (Komisaris Utama), Ossy Dermawan, dan Silmy Karim.
Sementara itu, PT Perusahaan Listrik Negara juga memiliki tiga komisaris dari unsur wakil menteri: Suahasil Nazara, Aminuddin Ma’ruf, dan Bambang Eko Suhariyanto. Pola ini bukanlah kebetulan semata, melainkan kesengajaan dan kesadaran atas pelanggaran etika kekuasaan.
Krisis Meritokrasi: Bahaya Neopatrimonialisme
Jika dianalisis dari pendekatan sosiologi hukum dan teori birokrasi, kondisi ini menunjukkan pergeseran birokrasi Indonesia ke arah neopatrimonialisme. Max Weber, seorang sosiolog sekaligus pemikir hukum, dalam teori Weberian Bureaucracy menekankan bahwa jabatan publik seharusnya didasarkan pada prinsip meritokrasi: kompetensi, profesionalisme, dan kualifikasi objektif. Dalam kerangka ini, birokrasi ideal tidak tunduk pada loyalitas pribadi, tetapi pada norma hukum dan pelayanan publik yang rasional.