loading…
Diskusi bertajuk Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power yang digelar oleh Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Jumat (2/5/2025). Foto/Achmad Al Fiqri
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam forum diskusi bertajuk Revisi KUHAP dan Ancaman Pidana: Ruang Baru Abuse of Power yang digelar oleh Ikatan Wartawan Hukum di Jakarta, Jumat (2/5/2025).
Maqdir menyoroti bahwa dalam perkara korupsi, salah satu polemik yang kerap muncul adalah perbedaan dalam perhitungan kerugian negara antara versi penyidik—baik dari KPK maupun Kejaksaan Agung—yang kemudian tersebar luas di media.
Menurutnya, respons advokat berupa opini di ruang publik bertujuan mengoreksi informasi yang dianggap tidak akurat dari pihak penyidik. Ia menilai bahwa pandangan yang berseberangan dari para advokat seharusnya tidak dikategorikan sebagai bentuk menghambat proses penyidikan.
“Dalam draf RKUHAP, advokat dilarang menyampaikan opini atau pandangan di luar forum persidangan. Artinya, keterangan dari penyidik sebelum sidang tidak boleh ditantang atau dibantah,” ujar Maqdir.
Ia menilai ketentuan tersebut dapat memicu stigma negatif masyarakat terhadap seseorang yang baru berstatus sebagai tersangka atau terdakwa, bahkan sebelum proses pengadilan berlangsung. “Saya pikir ini tidak adil, dan mencerminkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia,” tegasnya.
Pembatasan tersebut tercantum dalam Pasal 142 ayat (3) huruf b dalam RUU KUHAP. Maqdir mendesak agar klausul itu tidak dilanjutkan, karena berpotensi menjadikan aktivitas advokasi advokat sebagai objek kriminalisasi.
(zik)