loading…
Amir Firmansyah, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa. Foto/istimewa
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Adhyaksa
DI tengah ketidakpastian global, ketahanan pangan bukan lagi sekadar tujuan pembangunan, tetapi merupakan keharusan hukum dan konstitusi. Saat Indonesia merayakan panen raya (panen padi besar-besaran) baru-baru ini, negara ini juga menghadapi ancaman yang paradoks krisis beras yang akan terjadi di tengah kelimpahan beras. Kontradiksi ini menegaskan satu kebenaran mendasar isu pangan tidak hanya soal kuantitas, tapi juga tentang hukum, akses, regulasi, dan keadilan.
Arsitektur hukum ketahanan pangan adalah hal yang mengikat rantai pasokan mulai dari produksi pertanian dan kebijakan subsidi hingga distribusi dan pengendalian harga. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 6 Tahun 2025 yang baru disahkan mencerminkan kenyataan tersebut. Peraturan yang ditandatangani oleh Presiden Prabowo Subianto ini bertujuan untuk mereformasi distribusi pupuk bersubsidi agar lebih efisien dan tepat sasaran.
Hal ini juga memperkenalkan peraturan yang lebih jelas untuk identifikasi penerima yang memenuhi syarat (petani, pembudi daya ikan, lembaga kehutanan masyarakat) dan penyederhanaan sistem rayonisasi untuk distribusi pupuk. Dengan memangkas birokrasi dan memastikan akuntabilitas, undang-undang menjadi instrumen kedaulatan pangan.
Sektor pertanian di Indonesia sangatlah penting, tidak hanya untuk pasokan pangan nasional, namun juga untuk keadilan dalam arti ekonomi. Ketika subsidi pupuk menjangkau petani secara langsung melalui Gapoktan (gabungan kelompok tani), dan ketika pemerintah menetapkan harga pembelian beras yang adil (saat ini Rp 6.500 per kg), negara secara aktif menggunakan instrumen hukum untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Langkah-langkah hukum ini bukan sekedar formalitas birokrasi, hal ini merupakan respons negara terhadap mandat konstitusi untuk keadilan sosial dan kesetaraan ekonomi.
Terlebih lagi, 150 hari pertama pemerintahan Prabowo telah menyoroti pentingnya reformasi hukum di bidang pertanian. Program-program seperti peremajaan tanaman pangan, adopsi teknologi pertanian modern, infrastruktur irigasi yang lebih baik, dan optimalisasi logistik pangan nasional semuanya didasarkan pada inisiatif hukum. Kebijakan-kebijakan ini telah memberikan dampak yang terukur, produksi meningkat, logistik membaik, dan ketergantungan pada impor pangan secara perlahan mulai diatasi.
Namun undang-undang yang baik sekalipun tidak dapat dilaksanakan dengan sendirinya. Penegakan hukum masih menjadi sebuah tantangan. Lemahnya implementasi, korupsi dalam distribusi pupuk, dan kebijakan harga yang tidak konsisten terus mengancam keadilan pangan. Mekanisme pengawasan yang kuat dan partisipasi masyarakat sipil sangat penting agar undang-undang pangan benar-benar bermanfaat bagi masyarakat.
Selain itu, undang-undang pangan harus peka terhadap dampak perubahan iklim, degradasi lingkungan, dan kesenjangan pedesaan. Dalam hal ini, sistem hukum harus berkembang untuk mengintegrasikan prinsip-prinsip keberlanjutan dan ketahanan. Peran undang-undang lingkungan hidup, peraturan penggunaan lahan, dan peraturan pemerintah daerah menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa pertanian tidak mengakibatkan kerusakan ekologis.
Krisis pangan bukan hanya persoalan beras atau pasokan saja, melainkan persoalan akses hukum terhadap bahan pangan, hak hukum atas harga yang adil, dan tanggung jawab hukum atas akuntabilitas publik. Singkatnya, makanan adalah hukum.