loading…
Candra Fajri Ananda, Staf Khusus Menteri Keuangan RI. Foto/SINDOnews
Staf Khusus Menteri Keuangan RI
PADA Januari 2025, Indonesia mencatat deflasi sebesar 0,76% secara bulanan (mtm), yang tercermin dari penurunan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 106,80 pada Desember 2024 menjadi 105,99. Secara tahunan (yoy), inflasi hanya mencapai 0,76%, menjadikannya angka terendah sejak Januari 2000.
Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa deflasi ini sebagian besar disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang menetapkan diskon 50% pada tarif listrik bagi pelanggan dengan daya di bawah 2.200 VA untuk periode Januari hingga Februari 2025.
Selain faktor kebijakan, deflasi juga dipengaruhi oleh melemahnya konsumsi domestik, yang tercermin dari tren penurunan Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) sejak pertengahan 2024. Indikator ini menunjukkan sikap kehati-hatian masyarakat dalam melakukan pengeluaran, yang berimbas pada berkurangnya permintaan terhadap berbagai sektor ekonomi.
Salah satu sektor yang terdampak adalah transportasi, di mana tarif layanan kereta api dan angkutan udara mengalami penurunan, masing-masing memberikan andil sebesar 0,01% terhadap deflasi. Fenomena ini mencerminkan perubahan pola konsumsi masyarakat serta meningkatnya tekanan terhadap sektor usaha yang bergantung pada permintaan domestik.
Di sisi lain, meskipun terjadi deflasi pada Januari 2025, inflasi inti – yang tidak memasukkan komponen harga yang diatur pemerintah dan harga pangan bergejolak – justru mengalami sedikit kenaikan, mencapai 2,36% secara tahunan. Bank Indonesia sebelumnya telah menurunkan suku bunga sebagai langkah strategis untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Lembaga tersebut memperkirakan inflasi akan tetap berada dalam batas yang terkendali hingga akhir 2025, dengan proyeksi inflasi tahunan sebesar 2,7% dan inflasi inti sebesar 2,6%. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun tekanan deflasi terjadi pada awal tahun, fundamental ekonomi Indonesia masih relatif stabil.
Dinamika Efisiensi Anggaran
Kini, Indonesia menghadapi tantangan ekonomi yang kompleks dengan menurunnya jumlah uang beredar serta perubahan pola konsumsi masyarakat. Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa posisi uang beredar dalam arti luas (M2) pada Desember 2024 mencapai Rp9.210,8 triliun, dengan pertumbuhan tahunan sebesar 4,4%, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang mencapai 6,5%.
Artinya, kondisi tersebut mencerminkan semakin ketatnya likuiditas dalam perekonomian, yang dapat berdampak pada aktivitas konsumsi dan investasi dalam negeri. Begitu juga perubahan pola konsumsi masyarakat semakin terlihat dengan adanya kecenderungan menahan belanja, terutama untuk kebutuhan sekunder dan tersier seperti produk fesyen.
Sebaliknya, alokasi pengeluaran kini lebih berfokus pada sektor jasa, terutama kesehatan dan rekreasi. Pergeseran prioritas ini menunjukkan kehati-hatian masyarakat dalam mengelola keuangan mereka di tengah ketidakpastian ekonomi, yang pada gilirannya dapat berpengaruh terhadap kinerja sektor ritel dan manufaktur.