loading…
Prof. Komarudin, Rektor Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Umum HISPISI. Foto/Istimewa.
Rektor Universitas Negeri Jakarta dan Ketua Umum HISPISI
Tanggal 23 Juli ini, kita kembali memperingati Hari Anak Nasional (HAN). Peringatan HAN tahun ini mengusung tema “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, sebuah pesan kuat bahwa perlindungan terhadap anak menjadi fondasi utama menuju Indonesia Emas 2045. Pada momentum ini patut diajukan pertanyaan reflektif sejauh mana kita menyediakan perlindungan dengan menghadirkan lingkungan yang mendidik? Sejauh mana sistem pendidikan kita benar-benar mempersiapkan anak bangsa sebagai pewaris masa depan?
Kita tidak boleh lupa bahwa anak-anak adalah pewaris masa depan bangsa, dan masa depan itu harus disiapkan dari sekarang. Studi Lansdown (2011) mencatat bahwa perlindungan dan pemberdayaan anak sejak dini merupakan investasi kunci menuju masyarakat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun, menyiapkan anak sebagai pewaris masa depan tidak cukup dengan menjauhkan mereka dari kekerasan.
Anak perlu disiapkan dalam lingkungan yang mendidik, memberdayakan, dan menumbuhkan aneka kecerdasan yang relevan dengan masa depan—baik kecerdasan kognitif, sosial-emosional, spiritual, hingga digital. Ringkasnya, mempersiapkan anak bukan sekedar memberikan perlindungan terkait perkara keselamatan fisik, tetapi juga menyangkut akses terhadap pendidikan bermutu, pengasuhan yang mendukung tumbuh-kembang optimal, serta pendampingan oleh guru yang cakap secara akademik dan emosional.
Pengaruh Ekosistem Digital
Harus diakui saat ini anak-anak kita saat ini lebih banyak tumbuh dalam ekosistem digital, terutama media sosial. Survei We Are Social (2024) mencatat bahwa anak-anak dan remaja usia 10–17 tahun menghabiskan rata-rata 4 hingga 6 jam per hari di media sosial. Sayangnya, lingkungan digital ini belum sepenuhnya aman dan mendidik. Konten-konten kekerasan, hoaks, cyberbullying, hingga budaya instan dan hiper-konsumtif justru menjadi dominan.