loading…
Eko Ernada, Pengajar dan Peneliti Kajian Timur Tengah Universitas Jember. Foto/Dok.SindoNews
Pengajar dan Peneliti Kajian Timur Tengah Universitas Jember
DALAM beberapa pekan terakhir, gelombang pengakuan kemerdekaan Palestina oleh sejumlah negara Barat mulai mencuat ke permukaan. Australia, Inggris, dan Prancis – negara-negara yang selama ini dikenal berhati-hati dalam menanggapi isu ini – mulai menyuarakan niat untuk mengakui negara Palestina secara resmi.
Tentu, pernyataan ini bukanlah hal sepele atau insidental; melainkan cerminan dari pergeseran politik yang tidak bisa dilepaskan dari akar sejarah panjang dan dinamika geopolitik yang mengikat setiap langkah mereka. Melihat dari perspektif historis, keterlibatan negara-negara ini dalam konflik Israel-Palestina tidak bisa dilepaskan dari peran masa lalu yang sarat dengan kepentingan kolonial dan strategi geopolitik.
Inggris, misalnya, memiliki peranan sentral sejak awal abad ke-20, ketika Deklarasi Balfour pada 1917 secara eksplisit mendukung pembentukan “tanah air bagi bangsa Yahudi” di Palestina, yang saat itu merupakan wilayah di bawah mandat Inggris.
Pernyataan ini, meski mengandung janji kepada komunitas Yahudi, mengabaikan hak mayoritas penduduk Arab Palestina dan menimbulkan konflik berkepanjangan yang hingga kini belum terselesaikan.
Inggris, sebagai negara mandat, bertanggung jawab langsung atas administrasi Palestina antara tahun 1920 dan 1948. Masa ini menandai periode ketegangan dan benturan antara komunitas Yahudi yang terus meningkat, berkat imigrasi yang didukung oleh Inggris, dengan penduduk Arab yang menolak rencana pembentukan negara Yahudi.
Inggris menghadapi dilema berat antara menjaga kepentingan kolonial dan menenangkan aspirasi lokal yang bertentangan. Pada akhirnya, Inggris menarik diri dari mandat ini dan menyerahkan persoalan ke PBB, yang kemudian memutuskan pembagian wilayah (Resolution 181) pada 1947. Keputusan ini, yang dimaksudkan untuk menciptakan dua negara, malah memicu konflik berdarah yang berujung pada pembentukan negara Israel dan pengusiran serta pengungsian besar-besaran warga Palestina pada 1948.
Peran historis Inggris ini menjadi bayang-bayang yang sulit untuk dihindari dalam kebijakan luar negerinya terkait Palestina. Sikap Inggris saat ini dalam menyatakan niat mengakui kemerdekaan Palestina sesungguhnya adalah refleksi dari proses panjang penyesuaian sikap terhadap warisan kolonial yang kontroversial tersebut.
Inggris tidak bisa lepas dari tanggung jawab moral dan politik yang berakar dari masa lalunya, dan pengakuan ini dapat dianggap sebagai upaya memperbaiki posisi mereka sekaligus menanggapi tekanan internasional dan domestik yang berkembang.