loading…
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Leonard Chrysostomos Epafras. FOTO/IST
Akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), Leonard Chrysostomos Epafras mengatakan, Indonesia telah banyak belajar dari berbagai insiden yang dipicu oleh isu keagamaan. Menurutnya, Indonesia punya banyak pengalaman penanganan konflik horizontal, mulai dari insiden maupun kasus besar seperti yang pernah terjadi di Ambon. Radikalisme tidak bisa dikaitkan dengan Islam, karena nyatanya ada kombatan di Ambon yang beragama Kristen.
“Mereka mendapatkan doktrin menggunakan Alkitab, namun ditujukan sebagai pembenaran tindak kekerasan yang dilakukan. Tidak hanya di Indonesia, contoh radikalisme umat Kristiani yang lebih masif dan berpola itu bisa kita lihat di Amerika Serikat, Australia dan Eropa, yang biasanya dimotori oleh kelompok berhaluan kanan (Kristen konservatif),” kata Leonard di Yogyakarta, Jumat (4/10/2024).
Ada beberapa kelompok Kristen di mancanegara yang berani berbuat intoleransi, radikalisme, dan terorisme karena peraturan perundang-undangan di negaranya begitu melindungi kebebasan berpikir dan berpendapat. Model seperti ini memberikan kesempatan kepada kelompok kanan ekstrem, seperti KKK (Ku Klux Klan) di Amerika Serikat. Kelompok semacam ini menolak ras yang lain, khususnya kulit hitam, dengan justifikasi tafsir Alkitab yang mereka yakini.
Selaku penganut agama Kristen Protestan, menurut Leonard, seharusnya manusia dengan sesamanya harus saling mengasihi. Bagaimana pun, manusia yang beragam agama dan latar belakang ini diciptakan dari Tuhan yang sama.
“Setiap insan harus sadar bahwa kita adalah keluarga besar dalam kemanusiaan. Istilah dalam agama Kristen itu oikoumene, yang artinya keluarga besar. Kita semua adalah manusia ciptaan Tuhan yang hidup bersama. Oikumene inilah yang menjadi branding dari PGI (Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia), sebagai lembaga payung Kekristenan terbesar di Indonesia. Branding ini digunakan karena menyadari, tiap manusia memang berasal dari satu Pencipta yang sama,” kata Leonard.
Sebagai bagian dari upaya kelompok Kristen membangun peradaban di Indonesia, ranah pendidikan dan kesehatan menjadi fokus utama dalam kontribusi mereka. Leonard mengatakan, inisiasi dari kedua aspek tersebut sudah lama dijalankan di tengah Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Hal ini kemudian dianggap Leonard sebagai bentuk bagaimana umat Kristiani berkontribusi pada integritas sosial dan pembangunan masyarakat secara umum.
Dari kebanyakan kasus intoleransi terhadap perbedaan agama di Indonesia yang dipelajari, kata Leonard, sebenarnya bukan karena perberbedaan agama yang dianut semua pihak yang terlibat. Konflik biasanya terjadi karena adanya relasi mayoritas-minoritas, atau kecemburuan pihak mayoritas terhadap apa yang dimiliki kelompok yang jadi minoritas di suatu wilayah.
“Misalnya di Nusa Tenggara Timur, warga pendatang yang paling banyak berasal dari Bima, Jawa Timur, dan Makassar. Pendatang yang biasanya beragama Islam ini datang dengan usaha, etos kerja, dan akses permodalan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan warga setempat yang beragama Kristen. Ketimpangan yang awalnya murni karena faktor ekonomi, menjadi semakin melebar karena dikait-kaitkan dengan isu perbedaan agama, bahkan seolah menjadi legitimasi atas kecemburuan sosial yang dirasakan,” kata Leonard.
Permasalahan di wilayah-wilayah dengan minoritas Islam biasanya muncul pada waktu misalnya mendirikan masjid atau sarana ibadah lainnya. Kemudian, mayoritas Kristen mempersoalkan umat Islam yang minoritas, kenapa harus membangun rumah ibadah, padahal jumlah mereka sedikit.