loading…
Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa mengatakan hingga saat ini belum ada argumentasi kuat untuk menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. FOTO/IST
Pandangan ini disampaikan Pakar Hukum Pidana Universitas Mataram, Ufran Trisa. “Jaksa kukuh dengan praduganya, tetapi sayangnya praduga ini tidak didukung alat bukti yang membenarkan nilai kerugian negara sebanyak itu,” katanya, Minggu (5/1/2025).
Lebih jauh, Ufran menyoroti perihal penghitungan kerugian negara dalam kasus ini yang didasarkan pada kerugian ekologis, dengan mengacu pada Laporan Hasil Kajian (LHK) Nomor VII Tahun 2014. Menurutnya, hingga saat ini belum ada argumentasi kuat yang menyatakan bahwa kerugian ekologis termasuk sebagai kerugian keuangan negara. Ia memandang kerugian ekologis lebih merupakan pencemaran atau kerusakan lingkungan, yang tidak bisa langsung ditarik sebagai akibat adanya korupsi.
Penghitungan kerugian negara semestinya menjadi kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diamanatkan oleh konstitusi meski setelah Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 31 Tahun 2012 kewenangan ini terdesentralisasi ke berbagai lembaga, termasuk Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
“Hanya saja sering kali hasil audit BPK yang dibentuk berdasarkan konstitusi justru dikesampingkan oleh audit BPKP, yang hanya dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden. Ini sangat janggal secara konstitusional,” katanya.
Ia menegaskan dalam banyak kasus, perbedaan versi penghitungan kerugian negara dari kedua lembaga ini menimbulkan ketidakpastian hukum. Hal ini diperparah dengan upaya penegak hukum menggunakan hasil audit yang dianggap paling sesuai dengan konstruksi kasus yang dibangun, tanpa mempertimbangkan legitimasi lembaga pengaudit.
Untuk diketahui, Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan 5 perusahaan sebagai tersangka korporasi dalam kasus dugaan korupsi pengolahan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah. Kelima korporasi itu meliputi PT Refined Bangka Tin (RBT), PT Stanindo Inti Perkasa (SIP), PT Sariwiguna Bina Sentosa (SBS), Tinindo Inter Nusa (TIN), dan CV Venus Inti Perkasa (VIP).
“Kita menetapkan 5 korporasi perusahaan timah, perkaranya hari ini kami umumkan dalam tahap penyidikan,” ujar Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam paparan Capaian Kinerja Desk Koordinasi Pencegahan Korupsi & Perbaikan Tata Kelola dan Desk Koordinasi Peningkatan Penerimaan Devisa Negara di Gedung Kejagung, Jakarta Selatan, Kamis (2/1/2024).
Adapun PT RBT dituduh membuat kerugian negara sekitar Rp38,5 triliun, PT SBS sebesar Rp23,6 triliun, PT SIP senilai Rp24,3 triliun, CV VIP sekitar Rp42 triliun, dan PT TIN sebesar Rp23,6 triliun.
Dia menerangkan, perkara timah tersebut memang kerugiannya signifikan, hanya saja kerugian paling besarnya adalah kerusakan lingkungan. Pihaknya pun bersyukur kerusakan lingkungan tersebut dapat dibuktikan oleh Jaksa dalam persidangan.
“Biasanya sangat sulit untuk mmebuktikan itu. Kita bersyukur kerusakan lingkungan yang selama ini tidak tertanggulangi, InsyaAllah dana ini apabila nanti bisa kita ambil dan kita bisa gunakan untuk perbaikan-perbaikan lingkungan,” tuturnya.
(abd)